KOMPAS.com - Ujung jembatan tak terlalu jauh di seberang sana. Bentangan besi penyangga warna kuning yang sangat simetris menciptakan kesan akan memasuki sebuah terowongan waktu. Di ujung sana mungkin belahan dunia lain atau satu titik lain di ruang waktu yang berbeda dari sini.
Imajinasi liar itu muncul berkelebat begitu saya sampai di ujung Jembatan Cipayeuh. Jembatan itu populer sebagai Jembatan Kuning karena seluruh rangka bajanya dicat kuning. Dibangun September 1986, jembatan yang melintas Sungai Cipayeuh di Desa Ciminyak, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten itu masih kokoh berdiri menjadi landmark pintu masuk ke perkampungan Baduy.
Sepi. Hanya terdengar gesekan daun padi yang tertiup angin. Persawahan di sekitar jembatan menghijau dan langit biru di atasnya diwarnai guratan awan tipis. Beberapa penduduk mencuci sepeda motor di sungai dekat jembatan. Saya minta tolong seseorang yang melintas untuk mengambil foto lalu melanjutkan perjalanan menuju Ciboleger, desa terakhir di batas perkampungan Baduy.
Karena dua orang teman batal pergi, seorang diri saja saya bersepeda ke Baduy yang gagasannya sudah lama timbul tenggelam dalam angan. Saya pilih jalur melewati Pamulang-Serpong-Rumpin-Lebakwangi-Jasinga-Cisimeut-Ciboleger. Biasanya saya main sepeda di kawasan Gunung Sindur, Ciseeng sampai Leuwiliang menyusuri punggungan sebelah timur Sungai Cisadane. Tapi kali ini saya pilih punggungan sebelah barat melalui Serpong-Rumpin yang sepertinya lebih tersembunyi dari keramaian. Saya mau mengintip dunia penambangan pasir dan batu di Sungai Cisadane.
Kamis (27/6/2013), tepat tengah hari bolong saya tinggalkan rumah yang nyaman di Kebayoran Lama. Dua bidadari kecil melepas dengan pelukan erat dan celoteh yang selalu membuat saya kangen mereka saat kami terpisah jarak.
Setelah melintasi jembatan Cisadane, jalan beton mulus hanya bertahan sampai Rumpin, tepatnya Desa Cicangkal. Selebihnya tidak ada lagi jalan, apalagi beton, yang tersisa hanya tanah kering, bebatuan, dan debu. Terguncang-guncang di atas sepeda besi Federal Mt Everest tahun 1995, saya harus lincah berseliweran disela truk-truk tronton pengangkut pasir dan bebatuan yang juga berjalan zigzag memilih jalan. Kerasnya dunia penambangan Cisadane mulai terasa.
Angin haluan menghadang, sesekali menerbangkan debu pasir yang pekat, berputar seperti puting beliung, membuat kayuhan terasa berat. Jalanan berkabut debu. Panas terik dan kering menyekat kerongkongan. Tapi tantangan ini tidaklah seberat kehidupan para pengangkut pasir ke atas truk yang disebut 'ganjur' atau batu koral yang disebut guracil (batunya).
Arya (25), warga Cipining yang sudah 10 tahun menjadi ganjur mengatakan, sebagian besar warga perkampungan di kawasan Rumpin menggantungkan hidupnya dari penambangan pasir dan batu. Sekali memuat pasir ke atas truk mereka diupah Rp 80.000, sedangkan kalau muatannya batu diupah Rp 100.000. "Sehari bisa memuat sampai enam truk kalau masih kuat. Biasanya rit berkurang sesuai umur," tuturnya sambil tersenyum.
Kenaikan harga bahan bakar minyak ikut mendongkrak harga material yang dikeruk dari daerah aliran sungai seperti pasir yang kini Rp 140.000 per kubik, bakal menjadi Rp 160.000-Rp 180.000 per kubik mulai tanggal 1 Juli. Lalu akankah para ganjur dan pengangkut guracil ikut menikmati kenaikan harga. "Itu mah tergantung bagaimana nanti rundingan sama tauke yang punya truk," tutur Arya, ayah dua anak.
Di sepanjang jalur Rumpin-Lebakwangi banyak dijumpai pangkalan penumpukan pasir dan batu. Mungkin lebih banyak daripada di punggungan timur Cisadane yang berbatasan langsung dengan kawasan permukiman di Pamulang, Ciputat, dan sekitarnya.
Lalu lalang truk tronton bermuatan material itu membuat jalan yang terakhir dibeton tahun 2007 (menurut seorang petugas Dishub yang saya jumpai) hilang. Kondisi jalan jauh lebih parah daripada punggungan timur.
Jutaan kubik pasir dan batu yang digali dari perbukitan di sepanjang aliran Cisadane menopang pembangunan di kota-kota sekitarnya. Para penambang juga merasakan rezeki yang menetes dari sumber daya alam tersebut. Namun di saat yang sama, akibat penambangan besar-besaran, kerusakan DAS Cisadane tak terelakkan. Di musim hujan, sungai ini makin sering mengamuk dengan mengirim banjir bandang seperti yang merenggut jiwa seorang teman yang juga Kepala Komunikasi BPPN, Raymond van Beekum, saat berarung jeram di sungai itu September 2003.
***
Hangat mentari sore jatuh di punggung saat saya tiba di Lebakwangi. Jalanan melandai turun-naik bukit. Masih ada 16 kilometer lagi melintasi perkebunan sawit dan hutan jati menuju desa Bunar. Saat itu sudah pukul 17.00, tapi saya putuskan maju terus sampai ke pertigaan menuju Jasinga. Entah sudah berapa kilometer saya berjalan karena cyclocomputer rusak. Perkiraan saya sudah sekitar 60 kilometer dari Jakarta.
Selepas desa Bunar, saya melintas di depan kantor polisi. Aha, kebetulan, saya pikir bisa istirahat di sana. Tapi ternyata petugas jaga menolak karena saya hanya membawa fotokopi KTP. Lelah, ngantuk, dan badan kotor berdebu, jengkel juga rasanya ditolak seperti itu. Bisa saja saya debat atau menghubungi teman-teman polisi Bogor, urusan pasti beres. Tapi itu tidak saya lakukan. Saya diam saja lalu pamit. Membiarkan diri menjadi 'Mr Nobody' itu membantu saya menahan diri.
Tapi ditolak polisi mengharuskan saya bergerak lagi menembus pekatnya malam di perkebunan sawit. Katanya kawasan itu rawan kejahatan, saya pasrah saja dan terus mengayuh. Sekitar lima kilometer berjalan, saya tiba di SPBU Desa Parung Sapi pukul 20.30. Keramahan petugas dan musala kecil SPBU itu cukuplah menjadi pelabuhan untuk meluruskan badan.
Tidur malam itu tak cukup nyenyak karena badan habis dikerubuti nyamuk. Baru pukul 03.00 saya bisa terlelap. Namun tidur singkat itu sudah cukup memulihkan badan untuk melanjutkan perjalanan. Segera saya benahi matras, sleeping bag, dan mengepaknya di sepeda. Pukul 6.30 saya tinggalkan SPBU Parung Sapi menyusuri aspal mulus ke arah Jasinga lalu berbelok kiri ke arah Haurgajrug.
Selepas Jasinga, jalan mulai mendaki menyusuri punggungan besar, terkadang turun ke lembah untuk berpindah punggungan. Puncak perbukitan menghijau di kejauhan. Langit biru cerah berlukiskan guratan awan putih tipis. Kesegaran pagi hari itu menambah semangat menekuni kontur bumi.
Haurgajrug terletak di dataran rendah yang dikelilingi perbukitan. Untuk mencapainya dan keluar dari sana pasti menghadapi tanjakan-tanjakan yang aduhai. Setidaknya dua atau tiga tanjakan sepanjang 1-2 kilometer membuat ban depan sepeda sampai terangkat-angkat, yaitu setelah Desa Cipanas dan menjelang masuk serta keluar dari Desa Muncang.
Lalu lalang kendaraan terhitung sedikit dengan interval 3-5 menit. Itupun kebanyakan yang lewat sepeda motor. Ada saatnya saya hanya ditemani nyanyian serangga hutan dan desau angin yang menyapu dedaunan. Di langit, lengkingan elang mengirim pesan soal keasrian hutan perbukitan di kawasan itu. Menyenangkan sekali bersepeda di kawasan ini.
Di simpang Cisimeut, saya berbelok kiri dan meluncur sepanjang tiga kilometer hingga sampai di Jembatan Kuning yang termasyhur dan menjadi pembuka cerita ini. Jembatan hanya bisa dilalui satu mobil dan hingga kini kondisinya masih terawat baik.
Tepat tengah hari saya sampai di puncak tanjakan Ciminyak dan berhenti untuk mendinginkan badan yang panas sekaligus memasak perbekalan. Saya sempatkan tiduran di tengah hutan, menikmati sejumput kemerdekaan. Sekitar satu jam berhenti, saya lalu meluncur turun sampai di Desa Ciboleger, batas dunia luar dengan perkampungan Baduy.
Sepeda saya titipkan di sebuah warung di Terminal Ciboleger karena semua jenis kendaraan tidak boleh masuk perkampungan Baduy. Saya lalu menumpang di rumah Pak Sarip, warga asli Baduy yang tinggal di Kampung Kaduketug. Kebetulan ia tahu banyak dan bangga betul pada tradisi adat istiadat kaumnya. Siang itu mereka sedang gotong royong membangun imah Baduy (rumah Baduy) untuk seorang warga.
Rumah panggung Baduy dibangun 'melayang' dari tanah sekitar 30 cm atau sesuai kontur tanah. Kaki-kakinya beralaskan batu kali atau umpak sebagai pondasi. Ruangan beratapkan daun kirai (sejenis sagu) dan ijuk. Atap itu bisa bertahan delapan sampai sepuluh tahun jika bagian terluar dilapisi ijuk. Jika tidak, cukup empat-lima tahun karena ada sejenis ulat yang doyan melahap daun kirai kering. Biasanya tiap rumah terdiri dari beberapa kamar kecil dan satu ruangan besar yang jadi pusat kegiatan. Tidak ada jendela, tapi ruangan terasa adem karena celah-celah bambu. Hanya gelap tetap menghadirkan pengap di dalam kamar.
Di sela itu ngalor ngidul kami bercakap soal tradisi. Yang cukup menarik soal naluri dagang kaum tani Baduy.
"Perhitungan untung rugi selalu jadi pertimbangan dalam menggarap lahan tani. Walaupun tidak sekolah, orang Baduy selalu bisa memantau pasar, dari mulut ke mulut dan sekarang lewat pesbuk juga bisa," tutur Pak Sarip menggambarkan dekatnya mereka dengan internet.
Listrik memang tak boleh masuk, namun hp tetap bisa di-charge di Ciboleger. Rembesan budaya seperti itu terjadi di perbatasan, tapi sekarang sudah masuk ke perkampungan yang lebih jauh.
Gelap malam perlahan jatuh ke tanah. Lampu minyak mulai dinyalakan, menerangi rumah berdinding dan lantai anyaman bambu. Dalam keremangan kami makan bersama dengan menu sederhana nasi, telur goreng, mi goreng, dan ikan asin. Para pengunjung ke Baduy yang menginap di rumah penduduk sebaiknya membawa bahan makanan, terutama lauk pauk agar bisa dimasak dan disantap bersama tuan rumah.
Pak Sarip cerita, luas lahan Baduy 5.138 ha terbagi menjadi hutan lindung dengan luasan sekitar 2.500 ha, sisanya hutan garapan dan permukiman warga yang berjumlah 62 kampung, termasuk tiga kampung Baduy Dalam.
Karena keterbatasan lahan, para saudagar Baduy kini memperluas lahan pertaniannya dengan membeli tanah di pinggiran kawasan seharga Rp 10.000-Rp 15.000 per meter persegi (pinggir jalan) dan Rp 7.000-Rp 8.000 di pelosok hutan. Penguasaan lahan menjadi salah satu cara alami warga Baduy bertahan menghadapi masalah perkembangan penduduk dan keterbatasan lahan.
Sayup-sayup saya dengar alunan gamelan yang terdengar magis ditengah keheningan malam. Rupanya sekelompok warga tengah berlatih di rumah jaro (kepala kampung). Saya segera bergabung kesana. Terkantuk-kantuk saya selesaikan catatan ini ditemani musik gambang kromong yang membuai. Entah apa lagunya, tapi enak didengar, mungkin judulnya 'Semalam di Baduy'.
***
Kokok ayam jago dibalik dinding membangunkan saya dari tidur nyenyak. Sedetik lupa saya ada dimana. Langit-langit dan lantai anyaman bambu yang berderak saat diinjak mengembalikan ingatan saya sedang di Baduy Luar. Nyanyian jangkrik dan katak membelah sunyi. Di luar masih gelap dan dingin. Saya kebelet kencing tapi tak ada jamban di rumah itu. Jadi saya harus keluar berjalan ke arah pancuran di lembah. Bulan sepotong semangka menerangi tanah remang-remang keperakan.
Repot memang. Tapi hal yang sederhana soal buang air itu ampuh menjaga tradisi turun temurun kedekatan kaum Baduy dengan sungai atau sumber air. Warga Baduy tidak membangun jamban atau wc di rumah. Mereka membuang kotoran, mandi, mencuci baju dan peralatan dapur di pancuran atau di sungai.
Alasannya, seperti diungkapkan Pak Sarip, sederhana saja. Kotoran harus dibuang jauh dari rumah dan jangan sampai mengotori lingkungan kampung atau tetangga.
"Kalau membangun jamban, kita harus buat saluran pembuangan. Kotoran itu malah mengotori kampung lain yang posisinya lebih rendah," tuturnya. Lagi pula kebiasaan mendatangi pancuran secara alami menjaga kedekatan mereka pada sungai. 'Gunung ulah dibelah, lebak ulah dirusak". Semboyan itu dipegang teguh dalam keseharian orang Baduy.
Namun aturan tidak membangun jamban itu mulai cair di Baduy Luar. Dengan datangnya wisatawan ke kampung-kampung, beberapa warga membangun jamban di belakang rumahnya. Saat hujan atau saluran pembuangan tersumbat kerap mendatangkan masalah tersendiri. Menurut Pak Sarip, kokolot kampung sudah sering mengingatkan. Tapi arus zaman sepertinya tak terbendung soal yang satu itu.
Anak-anak Baduy tidak bersekolah. Tapi mereka pandai baca-tulis dan berhitung. Adat mengharuskan kalau mau sekolah, mereka keluar dari kampung dan tidak kembali lagi sekalipun ikatan kekerabatan tetap terjaga.
"Kalau sudah sekolah, akan banyak nilai yang berbenturan sama adat. Lagi pula mereka sekolah cukup lama, sampai 12 tahun, setelah selesai mereka tidak bisa kembali karena tidak ada pekerjaan yang cocok di kampung. Selama sekolah, mereka jauh dari tanah, jadi tidak bisa tani lagi, lalu mau kerja apa di kampung," cerita Pak Sarip.
Itoh, anak tertua Pak Sarip mengatakan, anak-anak belajar membaca secara alami dari lingkungannya. Mereka belajar membaca bersama teman atau anggota keluarga lainnya dengan mengenali huruf dan tulisan yang ada di kalender, karung beras, dan lain-lain. Belajar berhitung pun sama dan selebihnya bermain di alam bebas.
"Apalagi sudah ada hp sekarang, anak-anak lebih cepat bisa membaca," tutur Itoh yang bersama suaminya tinggal di rumah Pak Sarip.
Di keremangan pagi, Bu Sarip pulang dari kebun sambil menggendong kayu bakar, lalu mulai memasak. Beberapa warga Baduy Dalam, berjalan tanpa alas kaki, dengan ikat kepala putih sudah turun gunung. Mereka nongkrong di rumah-rumah warga, menunggu kedatangan pengunjung yang minta diantar keliling kampung. Di terminal Ciboleger juga banyak orang yang menawari jadi guide dadakan. Jadi cermat saja memilih guide kalau berkunjung ke Baduy. Soal tarif tergantung dari tawar menawar dan keikhlasan.
Para petani Baduy sadar betul soal pasar. Makanya mereka bisa menawarkan produknya dengan harga yang layak, tidak terlalu merugi karena tahu harga pasaran atau produk yang sedang bagus harganya. Kalau tidak menanam sendiri, mereka membeli hasil kebun seperti cengkeh, beras, pisang, palawija dan sebagainya untuk dijual kembali dengan margin keuntungan yang lumayan.
Itulah yang Pak Sarip katakan soal bakat dagang orang Baduy. Dengan cara itu mereka bisa memutar modal dan membeli tanah dari keuntungan yang didapat. Tanah menjaga eksistensi mereka di atas lahan inti yang turun temurun mereka diami. Sekalipun harga tanah di kawasan sekitar Cisimeut dan Leuwidamar relatif murah, orang Jakarta jangan coba-coba beli karena pasti ditolak.
"Orang Jakarta biasanya bikin harga tanah melambung. Kalau sudah mahal, orang Baduy gak bisa beli tanah lagi atuh," tutur Pak Sarip sambil terkekeh.
Pukul 07.00 saya sudah di atas sepeda lagi. Mengayuh lagi membelah angin pagi menuju Rangkasbitung. Jalan langsung mendaki perbukitan meninggalkan kedamaian perkampungan Baduy. Dari Rangkasbitung, sengaja saya tak menumpang kereta tapi mengayuh terus menyusuri sejumlah kampung kecil yang selama ini hanya berupa noktah kecil di peta seperti Maja, Tenjo, Curug, Bitung, Cikupa, Tangerang sampai tiba di rumah bersama turunnya malam. (Maximilianus Agung Pribadi)
Editor : I Made Asdhiana