KOMPAS.com - Cenderung mudah percaya. Sifat orang Indonesia yang satu ini adalah salah satu faktor yang mendukung penyebaran tindak kejahatan siber (cyber). Itulah yang diungkapkan para pembicara dalam acara sminar Cyber Security Codemicon di Jakarta, Rabu (13/3/2013) kemarin.
"Menurut saya kita punya budaya yang terlalu permisif terhadap data pribadi, contohnya di Facebook banyak data pribadi kita ditaruh begitu saja," ujar Staf Ahli Menteri Bidang Teknologi Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Kalamullah Ramli, salah satu pembicara dalam seminar itu.
Padahal, data-data pribadi semacam alamat dan nomer telepon rentan disalahgunakan sebagai sarana melancarkan serangan cyber atau tindakan tidak mengenakkan lainnya.
"Sebagai contoh, akhir-akhir ini banyak spam yang sudah sampai mencantumkan nama penerimanya," kata Ramli. Menurut dia, kebiasaan orang Indonesia dalam hal yang satu ini berbeda dengan masyarakat di luar negeri, khususnya negara-negara barat yang memperlakukan informasi pribadi sebagai sesuatu yang privat, tidak untuk disebarluaskan.
"Di sini, kita cenderung lebih mudah memberikan info pribadi, seperti fotokopi KTP yang dengan gampang kita berikan ke mana-mana. Begitupun bila bertemu kenalan baru, yang belum tentu berniat baik," Ramli menjelaskan.
Akibat lainnya dari sifat mudah percaya, lanjut Ramli, orang Indonesia rentan dimanfaatkan pelaku kejahatan cyber untuk menerapkan social engineering.
Istilah yang satu ini mengacu pada tindak manipulasi subyek (manusia) menggunakan kepercayaan, simpati, dan lain sebagainya sehingga subyek yang bersangkutan mau melakukan tindakan tertentu atau mengekspos data pribadi.
Mantan Kepala Keamanan Cyber Gedung Putih Howard Schmidt mengungkapkan bahwa hal semacam itu sering terjadi di negeri Paman Sam. "Misalnya ketika bencana badai Katrina beberapa waktu yang lalu, banyak pelaku penipuan phising yang meminta sumbangan atas nama korban bencana. Mereka ini memanfaatkan solidaritas dan rasa ingin menolong dari masyarakat."
Masuk Kurikulum
Demi meningkatkan kesadaran masyarakat soal bahaya ancaman cyber terkait data-data pribadi yang ditampilkan di wilayah publik, Ramli berpendapat bahwa salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan memasukkan mata pelajaran cyber crime dalam kurikulum anak sekolah.
"Soalnya, banyak anak-anak yang menjadi korban. Mereka tidak sadar sama sekali," jelas Ramli, seraya menambahkan bahwa memajang foto anak di Facebook sudah mulai dihindari karena banyaknya pedofilia yang berkeliaran di jagat maya.
Soal ini, data yang diungkapkan Ramli dalam seminar menunjukkan bahwa sebagian besar (67 persen) pengguna internet di Indonesia terdiri dari kelompok muda berusia 14-24 tahun.
Sementara itu, jumlah netter di Tanah Air terus tumbuh hingga mencapai angka 62 juta pengguna di tahun 2012 sehingga meningkatkan peluang kejahatan cyber.
Kebut-kebutan
Pentingnya membudayakan kesadaran akan ancaman cybercrime kembali ditekankan oleh Howard Schmidt yang mencontohkan awareness serupa di bidang otomotif.
Dia bercerita, dulu tak semua mobil dilengkapi fitur-fitur pengaman seperti seat belt. Seiring bertambahnya waktu dan berjalannya proses edukasi, kesadaran masyarakat soal pentingnya berkendara dengan aman semakin meningkat. "Kini, bisa dibilang tak ada yang mau masuk mobil yang tidak memiliki sabuk pengaman," ujarnnya.
Kesadaran macam inilah yang menurut hemat Schmidt perlu diterapkan pada pengguna internet masa kini yang lebih dari 80 persennya merasa sudah "aman" dan tak perlu ikut bertanggung jawab atas keamanan diri. "Itu sama saja kebut-kebutan sambil menganggap bahwa kendaraan bisa berhenti secara ajaib untuk mencegah kecelakaan."
Schmidt juga mengingatkan bahwa proses edukasi cyber crime bisa berjalan lebih efektif dengan menyampaikan informasi seputar manajemen resiko pada pengguna internet secara kontinyu.
Dia memberi contoh pop-up himbauan berbunyi "Situs ini agaknya berbahaya, apakah Anda ingin mengunjunginya?" yang muncul ketika pengguna hendak meng-klik tautan ke website mencurigakan dalam hasil pencarian internet.
"Kita perlu membuat lebih banyak lagi yang seperti itu, menjelaskan soal resiko-resiko keamanan cyber dengan bahasa non-teknis agar pengguna sadar soal bahaya yang mengancam," ujar Schmidt.
Anda sedang membaca artikel tentang
Permisif, Orang Indonesia Jadi Sasaran Empuk Hacker
Dengan url
http://agetoddlernutrition.blogspot.com/2013/03/permisif-orang-indonesia-jadi-sasaran.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Permisif, Orang Indonesia Jadi Sasaran Empuk Hacker
namun jangan lupa untuk meletakkan link
Permisif, Orang Indonesia Jadi Sasaran Empuk Hacker
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar