JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Komisi Yudisial (KY) Imam Anshori mengaku ditawari uang Rp 200 juta untuk satu komisioner oleh anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat. Syaratnya, ia diminta meloloskan salah satu calon hakim agung ketika proses seleksi tahun 2012.
Ketua Bidang Pengawasan dan Investigasi Hakim Komisi Yudisial Eman Suparman membenarkan pengakuan Iman itu. Bagaimana cerita yang dia ketahui?
Eman mengatakan, ketika rapat pleno membahas calon hakim agung tersebut, Imam tiba-tiba mengatakan bahwa ada anggota Komisi III yang menawari uang Rp 1,4 miliar untuk tujuh komisioner.
"Dana Rp 1,4 miliar itu lu (Imam) bagi-bagi saja tujuh, asal si X lolos. Di DPR urusan kami," kata Eman menirukan ucapan Imam, di Jakarta, Sabtu ( 21/9/2013 ).
Eman mengungkapkan, dari segi akademis, calon tersebut memang bagus. Ketika fit and proper test di KY, calon itu mampu menjawab setiap pertanyaan dengan baik. Namun, dari segi intergritas menjadi tanda tanya karena terlalu banyak pengaduan masyarakat dengan sangkaan melakukan penyimpangan.
Eman menambahkan, dalam rapat pleno, ada perdebatan ketika salah satu Komisioner KY menyinggung jabatan yang pernah dipegang si X, yakni ketua pengadilan tinggi di salah satu provinsi yang cukup besar. Sebelum ada KY, kata Eman, mengutip pernyataan komisioner itu, hakim yang pernah menjabat ketua pengadilan tinggi pasti akan menjabat hakim agung.
"Saya enggak peduli dengan itu. Kalau sampe si X ini lolos, kita semua akan kena fitnah walaupun kita tidak terima duit. Apalagi cuma Rp 200 juta, kecil banget Rp 200 juta bagi saya. Harga diri saya lebih besar dari sekedar Rp 200 juta. Saya tidak mau meloloskan orang itu," kata Eman.
Kecuali komisioner tadi, tambah Eman, komisioner lain setuju untuk tidak meloloskan si X. Namun, lagi-lagi komisioner itu mempertanyakan bagaimana jika publik nantinya bertanya mengapa calon yang dianggap pintar tidak lolos.
"Saya bilang, integritas ada dua macam dan dua-duanya harus terpenuhi. Integritas keilmuan dan moral. Kalau orang punya integritas keilmuan tapi tidak punya integtitas moral, hancur Mahkamah Agung. Harus dua-duanya dimiliki hakim agung. Lalu, ternyata tidak ada yang komentar, hakim juga tidak ada tanya-tanya (kenapa tidak lolos)," papar Erman.
Percobaan penyuapan
Sebelumnya, salah satu unsur pimpinan Komisi Yudisial, Imam Anshori Saleh, mengungkapkan percobaan praktik penyuapan saat pemilihan hakim agung 2012. Berikut sebagian petikan wawancara Kompas dengan Imam, pada 19 September 2013:
Bagaimana kronologi penawaran uang tersebut?
Saya sebenarnya mendapatkan banyak telepon dari orang-orang DPR, dari beberapa fraksi. Lebih dari lima orang, dari fraksi berbeda-beda. Intinya, minta tolong supaya orangnya (calon) diluluskan. Saya jawab saja, ya nanti kita lihatlah. Kalau hasilnya bagus dan rekam jejaknya bagus, saya kira akan lolos. Kalau tidak bagus, karena KY memang memiliki standar, ya tidak bisa.
Saya pikir sudah selesai. Tahu-tahu ada yang menelepon mengajak bertemu. Saya tidak berpikir apa-apa saat itu. Akhirnya, saya bertemu di sebuah rumah makan di daerah Senayan.
Ketika itu dia bilang, "Mas, saya dapat amanat dari ibu, ini supaya diloloskan. Untuk KY, masing-masing disiapkan Rp 200 juta." Dia memang tidak bilang akan memberi Rp 1,4 miliar, tetapi kalau dihitung kan jadinya Rp 1,4 miliar.
Saya jawab, "Waduh… kalau yang begitu-begitu saya dan teman-teman tidak akan menerimanya Pak. Tanpa itu pun, kalau baik tentu akan kami loloskan."
Saya tidak langsung memberitahukan peristiwa ini kepada teman-teman (pimpinan KY). Saya biarkan dulu, biar yang bersangkutan seleksi. Nah, ketika rapat penentuan kelulusan, saya baru menggunakan hak veto. Saya katakan tidak bisa meloloskan orang ini. Anggota yang lain bertanya, lalu saya jelaskan soal itu (tawaran uang). Lalu, kami sepakat tidak meloloskannya.
Apa reaksi dari orang DPR?
Ya, memang sempat marah-marah orang DPR walau tentu saja tidak marah ke saya. KY dikatakan tidak mampu. Lalu, DPR menunda uji kelayakan dan kepatutan. Makanya, dulu saya ancam kalau mereka menjelek-jelekkan (KY), saya punya kartu truf.
Pada 2012, DPR sempat menolak melanjutkan proses seleksi calon hakim agung dengan alasan kuota belum terpenuhi. Saat itu, KY yang seharusnya mengirimkan 18 calon hakim agung hanya mengirimkan 12 calon (Kompas, 6 Juni 2012).
Editor : Inggried Dwi Wedhaswary