KOMPAS.com- Tanggal 17 Agustus mendatang, Indonesia akan memperingati kemerdekaannya yang ke-68. Namun, di usianya yang ke-68 itu, Indonesia belum memiliki sistem atau cara untuk menemukan calon presiden yang ideal untuk dipilih.
Tahun 2014, Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan presiden lagi, tetapi hingga kini belum ditemukan calon presiden yang dianggap benar-benar cocok untuk memimpin negeri ini. Pemilihan presiden pada tahun 2014 dianggap penting karena dalam pemilihan presiden itu akan muncul presiden baru, yang akan menggantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Undang-undang mengatur bahwa presiden Indonesia hanya boleh memerintah selama dua periode, masing-masing periode lima tahun. Setelah itu, ia tidak diperkenankan untuk mencalonkan diri kembali. Yudhoyono pertama kali terpilih sebagai presiden tahun 2004, dan tahun 2009 ia terpilih kembali untuk kedua kalinya.
Persoalannya, hingga kini, sekitar satu tahun lagi, Indonesia sama sekali belum memiliki bayangan mengenai siapa yang akan menggantikan Yudhoyono. Memang ada beberapa nama yang kerap kali disebut-sebut sebagai calon presiden, tetapi sebagian besar adalah nama-nama lama yang di masa lalu kalah populer dibandingkan dengan Yudhoyono.
Prabowo Subianto, Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, dan Wiranto adalah beberapa nama yang selalu disebut-sebut sebagai calon presiden setiap menjelang pemilihan presiden tiba, tetapi perolehan suara mereka dalam pemilihan presiden jauh di bawah suara yang diperoleh Yudhoyono. Menjelang Pemilihan Presiden 2014, nama-nama itu muncul kembali. Dari beberapa survei dan pengumpulan pendapat (polling), Prabowo Subianto termasuk salah satu calon yang populer.
Banyak yang menyatakan, pilihan kepada Prabowo itu diambil karena orang-orang yang disurvei menganggap Presiden Yudhoyono kurang tegas dan agak lambat dalam mengambil keputusan. Mereka lebih condong kepada Prabowo yang mereka anggap tegas dan cepat dalam mengambil keputusan.
Namun, perlu disadari, pilihan itu hanyalah hasil dari sebuah survei yang respondennya terbatas apabila dibandingkan dengan pemilih yang jumlahnya ratusan juta. Dalam pemilihan presiden yang pesertanya jauh lebih banyak, hasilnya mungkin saja berbeda.
Akhir-akhir ini, bahkan nama Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta, yang menjadi tokoh kesayangan media (media darling), muncul dan dimunculkan dalam survei atau polling yang diadakan oleh lembaga-lembaga independen.
Hasilnya, Joko Widodo dianggap sebagai calon presiden terfavorit mengalahkan tokoh-tokoh lain. Padahal, performa Joko Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta belum teruji mengingat ia baru menduduki jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta, 15 Oktober 2012. Dengan kata lain, belum satu tahun. Terheran-heran
Kita terheran-heran melihat bagaimana pemilih di Indonesia menjatuhkan pilihannya dalam pemilihan presiden. Pengalaman menunjukkan bahwa dukungan dari partai politik dalam pemilihan presiden tidaklah signifikan.
Dalam Pemilihan Presiden 2004, calon yang diusung Partai Golkar yang menempati urutan teratas dalam Pemilu Legislatif 2004 dikalahkan oleh Yudhoyono yang diusung oleh Partai Demokrat. Padahal, dalam Pemilu Legislatif 2004, Partai Demokrat hanya berada di urutan kelima. Hal serupa terulang dalam Pemilihan Presiden 2009. Partai Golkar dalam Pemilu Legislatif 2009 menempati urutan kedua dengan perolehan 15.037.757 suara, tetapi calon yang diusungnya dalam Pemilihan Presiden 2009 hanya meraih 1.847.958 suara.
Ketika Yudhoyono meraih suara terbanyak dalam Pemilihan Presiden 2004, argumen yang diajukan adalah kemenangan itu dicapai karena ia berhasil menarik simpati pemilih dengan mencitrakan dirinya sebagai orang yang teraniaya. Ia mencitrakan dirinya sebagai orang yang diperlakukan dengan tidak semestinya dan kemudian disingkirkan oleh Presiden Megawati. Citra sebagai orang yang teraniaya itu menjadikan Yudhoyono mengalahkan Presiden Megawati dalam Pemilihan Presiden 2004.
Saat memerintah (2004-2009) banyak yang kecewa dengan performa Presiden Yudhoyono. Ia dinilai kurang tegas dan agak lambat dalam mengambil keputusan. Bahkan, beberapa survei yang diadakan untuk menilai performa Yudhoyono menunjukkan adanya penurunan popularitas. Akan tetapi, ketika ia maju lagi dalam Pemilihan Presiden 2009, ia terpilih kembali dengan jumlah suara yang sangat meyakinkan.
Pertanyaan yang sama muncul kembali. Apa yang menjadi pertimbangan pemilih di Indonesia dalam menjatuhkan pilihannya, baik itu di dalam pemilihan presiden maupun dalam pemilihan kepala daerah? Pertanyaan ini muncul karena tampaknya rekam jejak (track record) dan performa calon presiden ataupun calon kepala daerah sama sekali tidak menjadi pertimbangan pemilih dalam menentukan pilihannya.
Itu juga yang menjelaskan mengapa banyak calon kepala daerah yang dinilai korup, atau yang tengah menjalani proses pengadilan karena tindak korupsi, menang dalam pilkada.
Jangan heran jika saat ini banyak yang sudah berandai-andai bahwa jika ada partai politik besar yang mengusung Joko Widodo sebagai calon presiden, ia akan terpilih sebagai Presiden Indonesia untuk periode 2014-2019.
Yang dijadikan dasar untuk berandai-andai itu adalah hipotesa di atas, yakni rekam jejak dan performa calon presiden itu tidak dijadikan pertimbangan oleh pemilih. Dengan demikian, setiap tokoh yang memiliki popularitas yang tinggi mempunyai peluang untuk menjadi presiden Indonesia. Benarkah?
Editor : Hindra Liauw
Anda sedang membaca artikel tentang
Cara Kita Memilih Pemimpin...
Dengan url
http://agetoddlernutrition.blogspot.com/2013/08/cara-kita-memilih-pemimpin.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Cara Kita Memilih Pemimpin...
namun jangan lupa untuk meletakkan link
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar